Skip to main content

Seminar Media Adil Gender Bagi Radio Komunitas di Bandar Lampung

Lama sekali gak ngeblog. Belakangan aku disibukkan dengan kuliah dan segala kegiatan lain. Seperti biasa, setiap aku kembali ngeblog setelah cukup lama hiatus, aku selalu pemanasan dengan membaca blog sendiri dan beberapa blog teman-teman blogger yang keren-keren. Tapi seperti biasa juga, aku selalu dibuat galau dengan masalah diksi yang kupakai. Sepele sih kelihatannya tapi menurutku penting. Seperti di beberapa post menggunakan kata “gak” untuk tidak, di beberapa post lain menggunakan “nggak” untuk tidak, dan di beberapa post lain menggunakan “tidak”. Sangat tidak konsisten, hehe, mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Sebenarnya sejak dulu aku sudah menetapkan kata apa yang pas untuk mengungkapkan tidak, aku sudah menetapkan untuk menggunakan “gak” karena pertama, hanya terdiri dari tiga huruf, kedua, hanya terdiri dari satu suku kata, ketiga, lebih mudah dan asik untuk diucapkan apalagi menurutku pribadi penggunaan kata “gak” itu cocok sekali untuk blog dengan konten santai dan gaya tulisan yang berusaha kubuat sesantai mungkin. Aku tahu itu gak sesuai dengan bahasa Indonesia yang benar, namun untuk kasus blogku mohon dimaklumi, ini semata untuk membuat pembaca merasa enjoy dan gak kaku-kaku banget. Janji deh, untuk pilihan kata yang lain akan kupertimbangkan agar gak terlalu melenceng dari kaidah berbahasa Indonesia, hehe, gini-gini juga punya cita-cita ingin jadi penulis novel romantis.

Semester 7 sudah hampir usai, dan sangat menyenangkan dengan segala kegiatan dan tugas-tugas kuliah. Rasanya aku ingin menjadikan setiap kegiatan dan pengalaman keren yang kujalani selama semester 7 ini postingan di blog, tapi karena gak memungkinkan, jadi aku pilih yang benar-benar harus kutulis hehe.

Pada Rabu hingga Kamis, 13-14 Desember 2017 aku berangkat ke Lampung untuk menghadiri suatu undangan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mewakili radio komunitas Tirta FM bersama Hendra. Kami berangkat tengah malam dan sampai pada pagi hari di Novotel Bandar Lampung sekitar pukul 9. It was such an amazing journey which i don’t want to forget. Nunggu rombongan di Pelabuhan Merak, terombang-ambing di kapal, hingga tidur-tidur ayam di dalam bus yang mogok berkali-kali merupakan pengalaman yang gak mungkin bisa untuk dilupakan.

Sebenarnya acara apa sih yang kuhadiri? Apa jenis acaranya? Aku baru benar-benar menemukan jawabannya setelah acara dimulai. Maklum, aku tidak tergabung di dalam grup chat Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) Banten yang didalamnya terdapat pengurus dan beberapa perwakilan dari masing-masing radio komunitas di Banten. Jadi selama beberapa hari sebelum acara, aku hanya berbekal surat, rundown, dan beberapa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan random yang kuajukan pada Hendra, teman seperjuangan di Tirta FM. Jika dilihat dari spanduk yang dipasang di bagian depan, terdapat tulisan Forum Koordinasi dan Bimbingan Teknis Tentang Media Adil Gender Bagi Radio Komunitas Dalam Rangka Pelaksanaan PUG, PP, Dan PA. Jenis acaranya seminar dan pelatihan. Acara ini dihadiri oleh pihak dari KPPPA dan JRK Banten dan Lampung.

Acara dimulai dengan makan siang, kemudian pembukaan and so on and so on seperti acara-acara seminar dan pelatihan pada umumnya. Barulah materi dimulai setelah itu. Materi hari pertama adalah mengenai latar belakang mengapa harus ada pengarusutamaan gender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak dan mengapa media, dalam hal ini radio komunitas berperan penting dalam pelaksanaan PUG, PP, dan PA.

Ilmu baru. Ternyata media menjadi salah satu penyebab dan pendukung “penomorduaan” perempuan melalui berbagai acara-acara hingga iklan yang mereka tayangkan. Tapi media juga bisa menjadi penggerak PUG, PP, dan PA melalui apa yang mereka siarkan. Begitu besarnya pengaruh media bagi pembentukan persepsi publik hingga menjadi kiblat dalam berperilaku, itulah yang membuat insan media harus aware terhadap isu gender dan perlindungan anak.

Hari kedua, setelah pagi-paginya aku, Hendra, dan Dini berenang cantik, kami mengikuti kelas lagi. Kelas hari itu hanya review materi hari sebelumnya, dan bimbingan pembuatan program yang terfokus pada PUG, PP, dan PA. Ini yang paling seru sebenarnya. Jadi setiap radio komunitas ditugaskan untuk membuat rancangan program radio yang bernafaskan PUG, PP, dan PA, setelah itu kami harus mempresentasikannya.

RDK UIN, TIRTA FM, RDS UIN, dan JASENG FM

Lagi mikir

Aku dan Hendra merancang program yang kami beri nama Women’s Voices. Program tersebut diharapkan dapat mendukung perempuan untuk menyuarakan pendapat dan masalah-masalah mereka khususnya melalui media radio. Program ini berisi curhat dan konsultasi permasalahan mental dan fisik perempuan khusunya mereka yang berusia remaja hingga dewasa muda sekitar 14-25 tahun sesuai dengan segmentasi radio komunitas kami, Tirta FM. Women’s Voices merupakan program siaran langsung yang mengudara pada Rabu pukul 19:00-21:00 yang disiarkan oleh mahasiswi dengan mendatangkan narasumber yang ahli di bidang psikologis dan narasumber lain sesuai dengan tema setiap minggunya.



Itulah program yang kami buat, ada banyak rancangan program-program radio tentang kewanitaan dan anak-anak yang sangat unik dan menarik jika benar-benar terealisasi dan mengudara. Aku sendiri jadi mendapatkan banyak inspirasi dari mengikuti forum tersebut.

Bersama teman-teman jaringan radio komunitas Banten dan Lampung

Setelah makan siang, kami kembali ke Banten setelah sebelumnya membeli oleh-oleh khas Lampung yang gak mungkin banget terlewat.


Overall, ini benar-benar kegiatan yang menyenangkan dan syarat akan ilmu baru. Terimakasih KPPPA, terimakasih JRKI, dan terimakasih Tirta FM telah memberi kesempatan untuk mengikuti acara KPPPA dan JRKI yang sangat berguna dan menambah pengalamanku ini. I will always remember this forever.

Comments

Popular posts from this blog

Review: Critical Eleven (Film)

PS: Postingan ini bukan hanya berisi review film, tapi juga sedikit cerita pengalaman nekat menonton film naik motor sendiri Taktakan-Serang-Cilegon panas-panasan saat puasa. Alhamdulillah, rasa penasaranku terobati. I’ve finally watched Critical Eleven! Ya, rasanya memang selalu kurang afdol jika kamu sudah membaca sebuah karya yang menurutmu menarik, tapi kamu tidak menyaksikan karya tersebut dalam bentuk film. Ketika film dari buku yang kamu sukai muncul, setidaknya ada perasaan penasaran dan dorongan untuk membandingkannya dengan buku yang sudah kamu baca, kan? Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Sabtu, 10 Juni 2017, tepatnya sebulan setelah film Critical Eleven mulai tayang di bioskop, aku melihat postingan instagram Ika Natassa yang merupakan penulis novel Critical Eleven, katanya film yang diangkat dari novelnya itu masih tayang di beberapa bioskop, salah satunya di Cilegon. Tanpa babibu aku langsung mengecek jadwal film di Cinema XXI Cilegon dan mendapati bahwa ku

Gila Followers?

Pernah baca "FOLLBACK GUE DONG..." di timeline twitter kalian atau di mention tab kalian? atau   "eh, follow blog gue ya!" yang disisipkan di antara komentar postingan blog kalian? atau  "woy, gue baru bikin tumblr nih. follow back ya!"  lewat chat facebook kalian atau di timeline twitter? Nah, kali ini gue cuma mau sharing aja ya tentang pengalaman gue tentang si gila followers . Jujur, jaman gue masih SMP (baru kenal twitter) kerjaan gue selain ngetwit ya minta difollow back sama artis-artis mancanegara. Tapi lambat laun gue tahu bahwa minta follow back orang yang belum dikenal itu sangat mengganggu dan gak sopan. Nah, sejak itu gue gak pernah minta follow back lagi kecuali kepada temen-temen deket gue yang baru bikin twitter. Beberapa bulan yang lalu... eh udah setahun sih, gue mendapati temen gue minta di-follow-back tumblr-nya karena dia baru membuat tumblr . Dia memberitahukan gue lewat chat facebook . Nah, karena gue gak enak hati sam

Do Not Rape Our National Heritages!

Today we can hear so many news on television about our national heritage which are stolen by other country.  We can search on google with the keyword “mencuri kebudayaan” and there are more than a million result in less than a second. It proved that there were bunch of people find the information about it. What kind of national heritage which is stolen by that country? Why are they steal our national heritages? And how to solve this case? Our national heritages is not only tangible heritages like Candi Borobudur or Taman Nasional Komodo, but we also have so many Intangible cultural heritages which is manifested through these points below: 1. Oral traditions and expressions (including Language). e.g., Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu, Bahasa Madura, Bahasa Padang, etcetera. 2. Performing arts (such as traditional music, dance and theatre) e.g., Gamelan (from Center Java, East Java and Bali), Tari Pendet (from Bali), Lenong (from Jakarta, Indonesia), etcetera